Oleh : Erwin Siahaan, S. H- Praktisi Hukum dan Ketua DPC. PBB Kabupaten Sintang
Sorak sorai Hari Buruh kembali menggema, bendera-bendera berkibar, dan orasi-orasi lantang menyerukan hak-hak pekerja. Namun, di balik gegap gempita perayaan ini, tersembunyi sebuah ironi yang menganga lebar, sebuah luka tersembunyi yang dirasakan oleh sebagian besar buruh di negeri ini.
Kita merayakan kemenangan yang belum sepenuhnya diraih, menyanyikan lagu perjuangan di tengah ketidakberdayaan yang nyata.
Coba kita telaah lebih dalam. Ketika sengketa antara buruh dan pengusaha mencuat, pemerintah hadir sebagai mediator, menawarkan anjuran sebagai jalan tengah.
Namun, anjuran itu bagai bisikan angin, tak mampu memaksa pengusaha nakal untuk membuka dompet dan memenuhi hak-hak yang seharusnya menjadi milik buruh. Lalu, jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menjadi satu-satunya harapan yang tersisa. Namun, harapan itu seringkali berbalut ketakutan yang mencekam.
Bayangkanlah, seorang ayah dengan gaji tiga juta rupiah, sebuah angka yang pas-pasan untuk sekadar menopang hidup keluarga kecilnya. Ketika haknya sebesar 45 juta rupiah dirampas, ia dihadapkan pada pilihan yang mengerikan: merelakan haknya atau berjuang dengan risiko kebangkrutan. Delapan hingga sepuluh juta rupiah harus ia keluarkan hanya untuk sekadar mengetuk pintu keadilan di PHI. Uang yang seharusnya menjadi nafkah anak dan istrinya, kini harus dipertaruhkan dalam sebuah pertarungan yang belum tentu dimenangkannya.
Perjalanan menuju pengadilan pun bukan tanpa onak dan duri. Jarak yang membentang jauh seringkali memaksa buruh untuk meninggalkan pekerjaan dan keluarga berhari-hari, menambah penderitaan finansial dan emosional. Biaya transportasi dan penginapan menjadi beban tambahan yang semakin memberatkan pundak yang sudah terbebani. Jika dihitung-hitung, berapa sisa hak yang mungkin ia dapatkan setelah semua biaya itu terpotong? Sebuah pertanyaan yang menggantung pilu di udara.
Ironi semakin mencengkeram ketika kita menyadari bahwa kemenangan di pengadilan pun bukanlah sebuah kepastian. Sistem peradilan yang kita saksikan bersama, tak jarang terasa berat sebelah, terutama ketika berhadapan dengan kekuatan modal dan pengaruh pengusaha. Jika kekalahan yang didapat, nestapa buruh akan semakin dalam. Sudah jatuh tertimpa tangga, hak yang diperjuangkan hilang, biaya gugatan pun raib tak berbekas.
Inilah buah simalakama yang harus ditelan mentah-mentah oleh kaum buruh. Di satu sisi, undang-undang menjamin hak-hak mereka. Namun di sisi lain, mekanisme penegakan hukum justru menjadi tembok penghalang yang tinggi dan mahal.
Mereka terperangkap dalam lingkaran ketidakberdayaan, di mana keadilan terasa begitu eksklusif dan sulit dijangkau oleh mereka yang paling membutuhkannya.
Kisah ini bukan sekadar keluhan individual, melainkan cerminan ketidakadilan sistemik yang menggerogoti sendi-sendi keadilan sosial.
Di Hari Buruh ini, mari kita berhenti sejenak dari sorak sorai dan merenungkan nasib saudara-saudara kita yang terpaksa berjuang sendirian melawan ketidakberdayaan. Pemerintah dan para pemangku kebijakan, inilah saatnya untuk meninjau kembali efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan.
Jangan biarkan Hari Buruh hanya menjadi seremoni kosong tanpa membawa perubahan nyata bagi kesejahteraan dan kepastian hak para pekerja, para pahlawan ekonomi yang seringkali terlupakan. Mereka tidak hanya butuh janji dan anjuran, tetapi kepastian hukum yang berpihak, mudah diakses, dan mampu melindungi hak-hak mereka dengan adil dan setara. Keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar retorika di hari perayaan.
You are reading the newest post
Next Post »